Kunjungan Baleg Ke Denmark Bukan Sekedar Tentukan Logo
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Dimyati Natakusumah mengatakan, kunjungan kerja Baleg ke Denmark dan Turki bukan hanya sekedar untuk menentukan logo yang akan dipakai dalam RUU Palang Merah, tapi banyak hal yang akan dipelajari dari kedua negara.
Jadi tidak hanya sekedar bicara tentang lambang, tapi juga ingin mengetahui di negara lain bagaimana mendapatkan dananya, bagaimana sanksinya jika orang menyalahgunakan lambang palang merah, semua perlu dikaji secara mendalam. Karena, katanya, banyak sekali hal-hal yang disalahgunakan, maka diperlukan Undang-undang Lambang Palang Merah ini. Dimyati menyampaikan hal itu dalam jumpa Pers, Kamis (13/9) di Ruang Press Room DPR RI.
Dalam kesempatan tersebut, Dimyati menjelaskan secara gamblang apa urgensi Baleg melakukan kunjungan ke Denmark dan Turki. Menurut Dimyati, RUU Lambang Palang Merah merupakan RUU yang betul-betul baru yang menjadi usul inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2012.
Karena RUU ini betul-betul baru, maka diperlukan masukan-masukan dan telaah yang mendalam serta perlunya dilakukan studi komparatif untuk penyempurnaan draft RUU tersebut.
Dimyati menambahkan, membuat RUU baru itu bukan hal mudah tidak segampang yang diperkirakan orang. Di sini, katanya, diperlukan studi komparatif. “Orang membuat satu kutipan saja perlu studi komparatif, bagaimana dengan sebuah RUU yang tujuannya untuk kemanusiaan dan sangat penting untuk bangsa dan negara,” katanya.
Dimyati menjelaskan, ke dua negara tersebut menjadi tujuan kunjungan Baleg karena Turki menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah dan Denmark menggunakan Lambang Palang Merah, yang sudah dipakai sejak tahun 1864 mereka sudah punya dan sudah ada dalam konstitusinya.
Menjawab pertanyaan wartawan apa hasil yang dibawa Baleg dalam kunjungan ke negara tersebut. Dimyati mengatakan, selama di Denmark pertama yang dikunjungi red cross.
Dalam pertemuan ini, kita mendapatkan banyak hal diantaranya konstitusi tentang red cross, bagaimana red cross itu dibentuk, bagaimana tupoksi red cross, persyaratan anggota red cross, bagaimana mereka membentuk cabang-cabang didaerahnya, apa kesulitannya, apa ketimpangannya. “Itu semua yang kita dapatkan dan akan kita pelajari lebih dalam,” kata Dimyati.
Hari berikutnya Tim Baleg berkunjung ke kantor Departemen Luar Negeri Denmark. Di depan kantor tersebut, katanya, depannya Kanal dan di sana banyak public ship, angkutan-angkutan public yang saat itu digunakan Delegasi Parlemen Indonesia.
“Jadi yang digunakan delegasi Indonesia saat itu bukan kapal pesiar, kapal pesiar ada sendiri namanya Aida. Tapi ini kapal angkutan biasa yang tidak ada atapnya dan panas sekali,” tambah Dimyati.
Dimyati menambahkan, perjalanan dengan kapal tersebut untuk mengetahui situasi, kondisi lingkungan negara tersebut, tepatnya hanya di Copenhagen.
Dia menambahkan, di hari terakhir Tim Baleg mengadakan pertemuan dengan Parlemen Denmark. Dimyati melihat, di parlemen ini luar biasa ketatnya, dengan bangunan gedung yang kuno, dan untuk memasuki gedung ini tidak mudah.
Dalam pertemuan dengan Parlemen Denmark ini kita mendapatkan banyak informasi diantaranya bagaimana pembentukan red cross dan segala informasi tentang red cross. Red Cross di negara tersebut sifatnya independent.
Disinilah pentingnya Baleg mempelajari dari kedua negara tersebut. RUU ini nantinya harus menentukan lambang apa yang akan dipakai apakah palang merah atau bulan sabit merah. Karena berdasarkan Konvensi Jenewa lambang yang harus digunakan hanya satu.
Dimyati juga menjelaskan, tidak semua pembahasan RUU bisa melakukan kunjungan ke luar negeri. Substansi yang hanya beberapa pasal yang hanya perubahan tidak bisa ke luar negeri. “ Di bawah 50 persen substansi dan tidak penting tidak bisa melakukan kunjungan ke luar negeri,” katanya. Dan dia mengusulkan kepada Pimpinan DPR, kunjungan itu sebaiknya dilakukan di awal pembahasan, karena pembahasan awal itulah yang perlu ke luar negeri karena awal penyusunan draft dan awal masukan.
Tapi semua itu tergantung dari substansi dari RUU, kalau RUU tersebut tidak penting untuk kepentingan publik, tentunya tidak diperlukan kunjungan ke luar negeri. (tt), foto : hindra/parle.